Site Overlay

Political Lifestyle… FASHION!

Mungkin ini adalah artikel yang “gw banget” berhubung gw paling aktif di P dan CP, sekalian otokritik lah :P.

Jaman sekarang siapa sih yang nggak punya twitter? Me? Jelas punya, meskipun sudah gw nggak pernah urusin karena malah jadi tempat sampah emosi yang ujung-ujungnya jadi melebar ke sana ke mari. Jaman sekarang siapa sih yang nggak punya Facebook? Jawaban idem, kecuali Facebook nggak gw tinggalkan karena di sana ada Car Town dan Farmville.

Tapi gw di sini bukan pengen curhat (lagi) baik yang terang-terangan maupun colongan. Gw pengen menyoroti geliat yang mulai terlihat sejak… Pemilu? No, sejak @pandji dan #indonesiaunite dan kaboom di Jakarta waktu itu. Geliat mendadak politik, that is.

Tentu saja, tidak ada yang salah dengan anak-anak muda (atau anak setengah tua yang berasa muda, *ehem*) yang menjadi politisi karbitan di social networking site. Menambah warna demokrasi dan sudut pandang dalam melihat suatu masalah, apalah.

Tapi benarkah begitu?

Jawaban dari gw, ya dan tidak.

Tentu saja tidak ada yang salah dengan semua orang bisa bersuara, bersuara sekencang-kencangnya sesuai dengan hak mereka. Tapi perlahan tapi pasti, “berusaha politik” ini mulai menjadi bagian dari lifestyle tersendiri. Mem-follow twitter situs berita hanya untuk diberikan komentar one-liner yang (kesannya) smart, memandang sesuatu dari sisi devil’s advocate agar dibilang pemberontak anti-pemerintah. Entahlah, ada banyak orang-orang yang tidak setuju dengan pemerintah dan menentang mereka dengan argumen yang runut dan bisa dihargai, tapi banyak juga yang cuma copas dari komentar orang yang disebutkan sebelumnya secara sepotong-sepotong sampai logikanya hilang.

It make no fucking sense for me.

Okay, it might make sense but then I’ll be judgemental for labeling some (lot of) people.

Tapi ini juga bukan sesuatu yang baru. Berapa banyak di antara kita yang mengenakan kaos/atribut Che Guevara yang mengerti siapakah sosok tersebut? Berapa dari kita yang mengenakan keffiyeh sadar bahwa pada awalnya itu adalah simbol solidaritas untuk Palestina? Banyak persinggungan “pandangan politik” yang serius dengan “biar keren” yang demi memenuhi eksistensi diri. Terkadang kasihan dengan mereka yang memang memiliki pandangan politik serius, yang jadi ternihilkan argumennya karena counterpart “gahul” mereka.

Gw pribadi sudah sangat mengerem omongan politik gw di luar area diskusi politik karena:

a) it takes me nowhere, terutama ketika bedebat dengan orang yang nggak siap debat dan malah ngambek.

b) Capek kalo ketemu orang yang ngerasa satu majalah/koran, kaskus dan wikipedia bisa jadi source yang cukup buat mendasari satu argumen yang nggak masuk akal.

c) Lebih capek lagi kalo ketemu kalangan “akademisi” yang meremehkan argumen dan malah suka utus-follower. Meh abislah.

d) Paling penting. Memepetkan produktivitas karena pada akhirnya semua yang dibicarakan hampir selalu jadi wacana semata dan nggak diaplikasikan ke keseharian. Ngedebat masalah siapa yang bikin macet, motor atau mobil tapi tetap naik motor di atas trotoar pas pulang kerja ya sama aja bohong kan? 😉

Tapi sudahlah, gw nggak mau mumet-mumet lama-lama ngomongin beginian. Biar gw berbagi lirik dari Koil yang menginspirasi gw menulis ini.

Ini Semua hanyalah Fashion

terpukau menatap wajah jelita menggoda
terkesima mendengar pidato sang pahlawan
mencari kebenaran dalam dua pilihan
untuk dianggap benar dan diakui

kita bergaya bagai patriot
peduli politik kenyataannya
kita mencari idola dalam majalah
fashion!!
fashion!!

terpaku di depan layar televisi
melihat gambar mencari suatu arti
terjebak dalam penjara tanpa terali
menghirup kebebasan yang semu ini

kita bergaya seperti patriot
peduli politik
bukankah pada kenyataannya
ini semua hanyalah fashion
fashion!!!

RustyrevolveR

Leave a Reply