Site Overlay

Pluralisme (?)

Hari ini dihebohkan oleh diskusi(?) atau lebih tepatnya perkara kaos bertuliskan “Pluralisme? Injak saja!” yang dikenakan si vokalis-band-itu yang udah lah yah, nggak usah dibahas di sini. Gue akuin, ketika pertama kali ngebaca, gue sangat sentimen. Berat banget sentimennya, karena seperti yang banyak orang tahu, gue sangat pro-pancasila dengan segala kekurangannya. Gue nggak peduli ya orang mau punya paham apa, atau punya pemikiran apa. Itu bebas, itu hak hidup setiap manusia untuk berpikir dan berpendapat sebebas imajinasi dan pikiran mereka membawa. Tapi ada satu batas yang harus jelas, jangan sampai pendapat dan pemikiran tersebut menyakiti orang lain.

Dan jujur aja, pernyataan yang agresif seperti itu membuat gue marah. Bukan karena gue inkonsisten dengan paham yang gue pegang, tapi karena gue manusia yang melihat tulisan di kaos itu sebagai ajakan untuk menginjak sesuatu yang mendasari terbentuknya negara gue.

Apakah itu “pluralisme”? Kalau menurut mereka-mereka yang mengaku anti pluralisme (atau JIL lah, kalau mau jujur-jujuran), pluralisme adalah paham yang menganggap semua agama itu sama, dan melarang untuk menganggap agamanya yang paling benar.

Are you fucking kidding me?

Ya, gue berpendapat kalau semua agama itu sama aja. Semua menghadap Tuhan yang sama dengan cara yang berbeda-beda. Itu pendapat gue, paham gue, tapi apakah itu berarti pandangan keagamaan gue adalah “pluralisme”?

Let’s get this short: NO.

Pluralisme itu tidak hanya mencakup keagamaan saja. Plural, banyak, many, the name should be self-explanatory. Ini adalah paham yang memiliki dasar bahwa perbedaan bukan alasan untuk sebuah permasalahan dan perpecahan. Perbedaan agama hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak perbedaan yang umum dipermasalahkan. Hell, bahkan perbedaan support tim sepak bola aja bisa jadi ajang bunuh-bunuhan (Jak-Viking anyone? Remember the mob lynching in GBK?). Masih ada sisi lain di hidup ini yang lebih dari sekedar agama; suku misalnya, atau ras, atau beda tongkrongan, atau bahkan beda gadget aja bisa bikin orang berantem. Di sinilah pluralisme mencoba masuk untuk menengahi segala bentuk perbedaan dengan mencoba mencari jalan tengah, win-win solution dari segala perbedaan ini. Bukan dengan menyamaratakan semua paham, tapi dengan memberikan batas sejauh mana paham itu bisa dibawa.

Sounds familiar? Ya, itu adalah sisi paling mendasar dari idealnya idealisme Pancasila. Win-win solution dari segala perbedaan yang ada di negara kita yang plural ini. Karena di mata hukum, semua agama (yang banyak itu) nilainya sama. Jadi kalo ada gerakan anti-pluralisme ya secara nggak langsung anti-Pancasila dan berarti anti-Indonesia.

Dan apakah “pluralisme” itu melarang menganggap agama lo paling benar? Nggak lah, silahkan aja mikir gitu, namanya agama ya dipeluk, yakin ya sok atuh, cuma ya jangan dibawa ke keseharian sampai merugikan orang. Buka puasa bersama di bundaran HI, misalnya.

Oke, oke, gue nggak mau ambil contoh ekstrim deh. Contoh yang paling simple seagama aja, pake sudut Islam, agama yang gue pelajari sedari kecil: “Lo tatoan ngapain sholat? Nggak sah lho sholat lo!”

Lepas dari segala macam aturan agama Islam yang lo yakini, apakah lo yang punya hak untuk ngelangkahin Raqib dalam mencatat pahala sholat temen lo, atau bahkan ngelangkahin Allah yang lo sembah di sholat untuk menilai sah-tidaknya sholat orang lain?

Apa hak lo untuk merasa bahwa (paham pengetahuan) agama lo yang paling benar?

Gue nggak perlu menjabarkan dengan contoh yang mengkafir-kafirkan orang lain. Pikirin aja pertanyaan di atas.

Dan kembalikan ke pernyataan “pluralisme” tadi. Apakah lo berhak merasa agama lo paling benar? Lo punya hak untuk itu. Tapi apakah lo punya hak untuk mengatakan bahwa paham orang lain itu (pasti) salah?

No.

Singkat aja lah, gue akan nulis lebih banyak lagi lain kali.

Cheers

(originaly posted on 

RustyrevolveR