Site Overlay

Nyai Purwatma – Prelude

Tepi Jakarta, Akhir 1987

Sebuah Toyota Hardtop putih meluncur melintasi jalanan malam. Lampu kota yang menyinari tepi jalan perlahan mulai menghilang seiring aspal berganti dengan jalanan berbatu di pinggir rel kereta. Gedung-gedung tergantikan dengan rumah-rumah kecil yang saling berjarak, terpisahkan ladang kosong.

Mobil itu dikendarai seorang lelaki berambut ikal pendek kecoklatan yang tertata rapi. Angin kencang yang menghembus dari jendela mobil yang terbuka tidak menggoyangkan rambutnya sama sekali, begitu juga suhu dingin tidak menggetarkan tubuhnya yang terbalut jaket bomber coklat tua. Meskipun begitu, penampilan necisnya tidak bisa menutupi bayangan hitam di bawah mata yang terkumpul dari keterjagaan dirinya selama belasan malam menyortir dokumen yang kini tertumpuk di jok penumpang jip tersebut.

“…And if I say ten Hail Mary’s, leave a light on in heaven for me.”

Lelaki bernama Brama itu bernyanyi seiring suara Danny Wilson bersenandung berkumandang kencang melalui sound system. Nyanyian dan udara dingin yang menerpa wajahnya membantu matanya tetap terbuka di sela kantuk yang menggerayangi sel abu-abu di kepalanya dan mengaburkan pandangannya ke jalanan yang semakin berkelok melandai tanpa cahaya yang memadai. Brama melirik lengan kirinya, jarum luminous di jam yang melingkari pergelangannya menunjuk angka tiga. Dia mendesah dan menginjak pedal gasnya untuk mempercepat roda-roda itu membawanya ke tujuannya.

Jip putih Brama menepi di sisi pagar besi yang menjaga pengendara dengan tebing curam di bawahnya. Mobil itu terparkir tidak jauh dari deretan warung-warung yang dibangun dengan tripleks dan kayu yang dicat biru berhias berbagai umbul-umbul kuning bergambar pohon beringin, sisa dari hiruk-pikuk politik negara beberapa bulan silam. Beberapa orang nampak bersenda-gurau dan bermain gitar di sana.

Tanpa mematikan mesin, Brama turun dan menyulut rokok sambil menyender di samping mobil dengan mesin yang menggeram halus. Suara adzan terdengar sayup-sayup dari perkampungan di perkebunan teh di bawah tebing, menandakan penghujung malam sudah nyaris tiba. Meskipun begitu, delapan buah lampu di jip Toyota Brama yang nampak bagai mata laba-laba tetap menyala terang, awas menyorot mengawasi kegelapan jalanan.

Tidak lama kemudian, sepasang titik cahaya mendekat, melaju turun dari arah atas tanjakan panjang. Sinaran cahaya dari jip Brama menghapus tabir malam dan kabut subuh, menyingkap sebuah Mercedes dua pintu berwarna hitam.

Sesosok lelaki ramping tinggi melangkah keluar, posturnya tertutup jas shoulder-padded hitam dan kepalanya tertudung scarf tartan coklat-putih. Di balik tudung itu terlihat wajah pucat dengan pipi tirus yang seolah terpahat tajam. Sepasang mata merah menatap Brama daribalik kacamata hitam yang menghalau cahaya halogen dari kedelapan lampu jip Brama.

“Kita janji bertemu empat mata saat terang tanah, Bram. Kau nggak usah ketakutan berlebihan kayak gini lah cuy,” pria bertudung itu terkekeh.

“Gue butuh aman, Martin,” balas Brama. “Ini bukan jam aman untuk manusia biasa kayak gue buat kelayapan, apalagi jaman begini.,” Brama mendesis. “Dan sumpah scarf lo jelek banget.”

“Heh puki, ini scarf Issey Miyake. Barang mahal ini! Sekali-kali coba lah kau dandan modern sikit. Anak muda kok nggak punya selera. Also, Petrus is over after the election, bapak kau punya kerjaan itu, masak kau masih perlu kuatir keluar malam.”

Brama mengangkat alisnya sambil memandang lelaki bernama Martinus yang jelas bukan manusia itu. Ia melempar puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya.

Petrus, penembakan misterius. Selama paruh awal dekade, malam-malam Jakarta diwarnai berbagai penembakan preman jalanan tanpa diketahui siapa yang menembaknya. Bagi masyarakat kebanyakan kematian “preman” adalah berita yang menenangkan, bagi para vampir di Jakarta ini adalah saat yang tepat untuk berpesta dan mendapat darah segar. Namun ini bukan akronim yang menyenangkan bagi Brama yang percaya kalau semua hal harus berjalan sesuai sistem. Jakarta mungkin diam dan menerima ini sebagai misteri, tapi Brama tahu kenyataannya, dan dia marah karena dia tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan hal yang direncanakan di ruang tamu rumahnya sendiri.

Petrus is over, but not the death,” balas Brama sambil menyulut rokok keduanya.

Martinus mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya. “Bukan kita atau anak-anak kita yang punya kerjaan ini, Bram. Kitorang cuma dagang dan cari makan. Nggak ada nyawa yang kita ambil, kau kan tahu ini,” Martinus membalas, masih dengan jejak tawa terdengar di suaranya.

“Gue tahu,” balas Brama. “Tapi sekarang lagi banyak orang yang mati di jalanan, dan gue butuh lo dan jaringan… kaum lo buat ngebantu gue ngelarin ini masalah. Ini buat lo pada juga.”

“Lalu kenapa kita…”

Martinus berdehem, menghentikan omongannya sendiri.

“…kenapa gue dan anak-anak gue harus peduli?” lanjutnya. “Setiap hari ada orang mati. Pun yang ko’it masih bromocorah kayak pas Petrus kemarin, kan? Paling mereka cuma dimakan Nosferatu Batavia yang nggak nyadar kalau musim bunuh-bunuhannya udah kelar. Fucking tasteless hobo.” Martin melipat tangannya dan mendengus.

“Tin,” Brama berujar. “Ini bukan masalah siapa yang mati, tapi gimana mereka mati.”

Brama membuka pintu mobilnya dan mengambil stopmap di jok penumpang. Dia menaruh map tersebut di kap mesin Mercedes Martinus dan membukanya.

“Heh puki, ini mobil baru diwax!” Martinus menghadrik Brama.
“Wax lagi, nggak usah sok miskin,” balas Brama sambil menunjuk beberapa foto yang ada di dalam map itu. “Lo mending lihatin satu-satu nih foto.”

Martinus mengecek foto-foto itu dan meringis.

“Nggak cuma diminum habis, jantungnya juga dicolong-colongin. Cepat atau lambat bakalan ada wartawan yang nyadar dan hidup kita semua bakalan ribet. Masyarakat bakalan tahu kalian ada, plokis bakalan disuruh ngeburu kalian bahkan mungkin bakalan ada ABRI ikutan, deal lo-lo pada sama BAKIN bakalan berantakan,” ujar Brama.

Martinus terlihat gelisah. Brama meliriknya dengan tatapan curiga.

“Kenapa, Tin?” tanya Brama.
“Tadi gue pikir ini hanya anak baru yang nggak paham cara cari makan yang benar. Tapi ini jelas ritual.”
“Buat?”
“Entah, gue perlu cari tahu lagi. Map ini gue bawa ya,” ujar Martinus sambil mengambil map itu dan melemparnya masuk ke dalam mobil.

“Gue belum bilang iya,” ujar Brama sambil menatap Martinus yang melangkah masuk ke dalam mobilnya.
“Kau harus bilang iya,” balas Martinus singkat. “Kosongkan Rabu malam korang, gue yang akan ke Jakarta nanti.”

Tanpa banyak bicara, Martinus melaju meninggalkan tepi jalanan itu, kembali naik ke arah Puncak. Brama melirik ke arah warung yang mendadak kosong dan sepi.

“Kan, empat mata apaan,” desis Brama kesal sambil melangkah masuk ke mobilnya dan melaju turun kembali ke Jakarta.

RustyrevolveR
Share it: