Site Overlay

Hell Knight: Belial – Chapter 02

Mereka bilang, saat kematian menjemput maka seluruh hidupmu akan berlalu di hadapan matamu, seperti instant replay di siaran olahraga atau penayangan ulang sitkom dari dua dekade lalu yang itu-itu saja. Kini aku tahu bahwa itu benar, dan aku membencinya. Tidak bisakah aku mati begitu saja? Aku tidak butuh siaran ulang dari pertunjukan konyol ini.

Dio membatin seiring kilas hidupnya berlalu. Dia merasa aneh, kesadarannya penuh namun dia tidak bisa merasakan apapun, tidak ada satupun indra yang bekerja kecuali penglihatan yang tidak bisa diatur.

Tidak, Dio. Kamu tidak bisa pergi begitu saja.

Suara gaib itu bergaung di dalam kepala Dio, nadanya rendah dan tenang namun tidak lembut. Suara itu seperti jangkar bagi kesadaran lelaki muda itu, perlahan ingatan yang berlalu di matanya kabur digantikan pemandangan dinding-dinding berwarna daging. Dio menatap sekitarnya, dia merasa tubuh telanjangnya mengapung di dalam cairan kental transparan. Saat mencoba membuka mulut, Dio menyadari bahwa dia tidak lagi memiliki mulut, hidung, dan telinga. Seluruh kepalanya hanyalah bentuk kosong tanpa organ kecuali lubang mata, begitu pun seluruh tubuhnya kosong seperti manekin berwarna putih gading.

“Selamat datang di Rahim,” ujar suara yang kini terdengar nyata, tidak lagi seperti gaung di kepala. Dio menoleh ke arah suara itu berasal dan melihat makhluk tinggi besar bertubuh seperti Pan di legenda Yunani. Kaki makhluk itu berbentuk kaki kambing dengan bulu coklat kasar, sementara sisi atasnya adalah tubuh lelaki kekar dengan dada bidang dan rambut hitam yang jatuh bergelombang sampai ke pinggang sementara sepasang tanduk panjang berbentuk ranting tajam mencuat tinggi. Senyum terkembang dari wajahnya yang tampak seperti wajah wanita muda.

“Siapa kamu?” ujar Dio. Lelaki itu lalu terdiam, menyadari dia kembali memiliki mulut meski hanya celah melintang yang belum terbuka secara sempurna.

“Namaku tidak penting, sebut saja Pangeran Utara,” jawabnya. “Lebih penting ‘di mana kamu’ dan ‘kenapa kamu ada di sini’, toh?”

“Ini adalah Rahim, tempat jiwa-jiwa dilahirkan kembali untuk kehidupan selanjutnya,” lanjut pangeran itu sambil tersenyum.

“Dilahirkan kembali, maksudnya aku sudah…”
“Mati. Jarang manusia yang bisa selamat kalau paru-parunya dilubangi pisau.”

Dio menatap tangannya. Jemarinya sudah membentuk namun punggung tangannya ditumbuhi sisik dengan kuku panjang dan tajam di ujungnya.

“Kenapa badanku jadi seperti ini?” teriak Dio kepada Pangeran Utara.

“Tubuhmu sedang menyesuaikan bentuk dengan kehidupan selanjutnya di Neraka. Nampaknya nasibmu lebih baik dibanding mereka yang terlahir kembali sebagai tengkorak rapuh.”

“Kenapa badanku jadi seperti ini?”

Pangeran Utara menunduk dan menggeleng perlahan.

“Secara singkat, setan-setan yang menyerangmu datang ke Bumi untuk menarik arwah manusia sebanyak-banyaknya. Setiap nyawa yang mereka cabut akan terlahir kembali di Neraka sebagai pasukan… salah satu pangeran,” ucap makhluk separuh kambing itu.

“Untuk apa mereka mengumpulkan pasukan?” tanya Dio.
“Politik,” jawab Pangeran Utara sambil tersenyum. “Aku di sini untuk memberimu penawaran,” lanjutnya. “Perubahanmu belum sepenuhnya selesai, masih ada kesempatan untukmu hidup kembali di tubuh lamamu dan tidak menjadi anak buah pembunuhmu itu.”

“Apa syaratmu?” tanya Dio. Pangeran Utara mengangkat sebelah alisnya mendengar perkataan manusia di ambang nyawanya itu.

“Aku berasal dari dunia showbiz. There’s no free lunch on Earth, why should I believe they exist in Hell?”

Pangeran Utara terbahak.

“Ternyata benar, sangat sayang kalau dijadikan pasukan rendahan semata,” ujarnya sambil melangkah mendekati Dio. Dia lalu menunduk agar tinggi mereka sejajar dan berucap: “aku mau kamu membunuh setiap makhluk Neraka yang ada di sana. Hentikan suplai pasukan mereka.”

“Kenapa kamu tidak melakukan itu sendiri? Kamu nampaknya cukup kuat.”
“Politik.”
“Oke.”
“Jadi?”
“Jadi aku akan hidup kembali dengan cara menjadi salah satu pasukanmu?”

“Jangan terlalu banyak tanya. Pilihanmu sekarang hanya menjadi anak buah dari setan yang mengembalikan kehidupanmu atau anak buah setan yang membunuhmu.”

-x-

Bulan bersinar di antara sela-sela gedung Jakarta, cahayanya menyoroti seorang gadis bertubuh kurus yang mengayun-ayunkan tongkat bisbol ke arah tengkorak hidup yang mendekatinya. Rambutnya yang pendek terlihat acak-acakan dan jatuh menutupi matanya membelalak.

“Tsk, sudahlah menyerah saja. Tidak ada gunanya melawan nasib,” ujar pemimpin pasukan tengkorak itu. Rambutnya yang pirang tersisir rapi ke belakang, memperlihatkan wajah berkulit putih dengan rahang tegas dan tulang pipi tinggi. Dia nampak seperti manusia normal kecuali matanya, sepasang bola itu berwarna hitam polos dengan setitik putih di pusatnya.

“Sebentar lagi kakakmu itu akan bergabung dengan kami,” ujarnya lagi sambil melangkah mendekati Fira. “Berhentilah melawan, kamu akan tetap bersamanya di kehidupanmu selanjutnya. Janji.”

Lelaki pirang itu tertawa kecil, namun tawa itu terputus suara keras benda yang jatuh menusuk tubuh Dio yang terbaring di atas aspal. Diiringi satu geraman keras, lelaki itu melompat mundur dan menghunuskan pedang di kedua tangannya ke arah tombak merah bermata tiga yang berdiri tegak di atas Dio. Fira terjatuh dan menatap senjata yang terpancang angkuh dengan bibir bergetar itu sementara para tengkorak yang mengelilinginya memasang kuda-kuda waspada.

Tombak itu terbakar dan menghilang di balik jilatan-jilatan api yang bergerak turun membungkus tubuh Dio. Perlahan tubuh itu terangkat dengan lengan terentang dan kaki di atas. Tubuh itu masih terbalut api yang memusar seperti tornado dengan warna perlahan berubah kehitaman. Angin berhembus keras ke pusat tornado mini itu selama satu detik dan keheningan datang bersambut setelahnya. Seluruh makhluk yang berdiri di aspal itu menatap ke atas di mana bergantung tubuh yang seolah terbungkus sarkofagus api.

“In excelsis spiritus malum, Belial.”

 

Suara berat bergaung mengiringi ledakan dari tubuh yang tergantung itu, api hitam yang membungkusnya berubah bentuk menjadi ratusan kelelawar api yang beterbangan. Kelebat hitam bergerak bersama ratusan kelelawar itu, menyapu tengkorak-tengkorak hidup dalam lingkaran dan berhenti di samping Fira yang masih terduduk lemas.

Tubuh Dio yang terbakar tadi kini berdiri tegak dengan jas kulit sepanjang betis, di dalamnya dia terlindung oleh zirah ringan yang tidak mengurangi kelincahan geraknya dengan sarung tangan besi yang menyala berapi dengan ujung cakar-cakar di setiap jarinya. Wajahnya ditutupi helm perang dengan bagian mulut terbuka menyerupai mulut bertaring yang menyeringai dan tanduk panjang di atasnya.

“Belial,” desis lelaki pirang bermata hitam tadi dan menatap ksatria yang disebutnya sebagai Belial dengan pedang terhunus, siap menyerang kapan saja.

Dio mengangkat tangannya yang masih membara dan menunjuk lelaki pirang di hadapannya dan berucap:

“Kamu, jauh-jauh dari adikku.”

RustyrevolveR