Site Overlay

MENILIK TILIK: BERMAIN DENGAN STEREOTIP

You know what, karena udah pada spoiler juga jadi gue akan bahas Tilik tanpa saringan spoiler di sini. Kenapa? Karena kalian yang kenal gue cukup lama pasti tahu kalau Macan Wigit dan analisa produk budaya pop secara berlebihan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

So get in the back of my truck and ride on, we’re going to overanalyze this to death.
Hal terbaik dari Tilik itu bukan hanya mengenai filmnya, tapi bagaimana reaksi penonton setelah film ini selesai. Bagaimana cara karakter-karakter di film ini menanggapi informasi/disinformasi adalah refleksi kita dalam menanggapi film ini atau karakter-karakter di dalamnya.

Kritik yang paling banyak terdengar mengenai film ini adalah soal stereotip. Bagaimana para ibu-ibu di film ini digambarkan sebagai tukang gosip, bagaimana perempuan muda dan bekerja digambarkan sebagai perempuan nggak bener.
Yang mana benar bahwa film ini penuh stereotip. Tapi justru stereotip-stereotip ini adalah poin terpenting film ini, dan kritik yang mengatakan kalau film ini semata ngejek stereotip ibu-ibu tukang gosip sebenernya nggak sepenuhnya tepat.
Jadi, dalam film ini, ada serombongan ibu-ibu pergi ke kota di bak truk untuk menengok Bu Lurah yang sedang sakit.

Bu Tedjo adalah stereotip antagonis di fiksi atau di dunia nyata, betul, dengan Yu Ning sebagai lawannya dengan kawan-kawan ibu-ibu sebagai penggembira. Stereotip “ibu-ibu gosip” ini disodorkan dari awal sampai akhir tanpa sekalipun ada pukulan yang ditarik.

Antagonisme Bu Tedjo bukan soal gosipnya tapi karakternya sendiri. Dia bukan cuma ibu-ibu gosipan, dia adalah seorang manusia yang sangat bersik, self-centered dan membuat semua hal, semua pembicaraan kembali ke dia dan fokus hanya di dia dan ceritanya. We all hate that one person. Sisi gosipnya itu hanya satu sisi, yang bener-bener membuat dia menjadi karakter yang “ganggu” ya berisiknya yang memaksa semua omongan dia *pasti* bener.

Selama kita disodorkan keberisikan itu, dan ada beberapa hal yang terjadi:

1) Kita, penonton, jadi sebal sama Bu Tedjo dan berharap dia “jatuh”.

2) Bu Tedjo terus melancarkan serangan ke sosok “Dian” ini dengan stereotip “perempuan nggak bener” yang umum disematkan ke sosok perempuan modern di sinetron.

3) Seperti selayaknya hoax, ketika sesuatu omongan diulang berkali-kali perspektif kita akan bergeser; mempertanyakan realita yang kita punya, apalagi info yang kita dapat hanya dari satu sisi.

Maka ketika di bagian akhir Yu Ning ternyata salah dan “kalah”, persepsi kita mengenai apa yang “salah” dan “benar” di dalam pembahasan gosip itu jadi sedikit goyah dan ketika Dian ditampilkan masuk ke dalam mobil dengan laki-laki yang kita kenali sebagai “Ayah Fikri”, banyak yang berasumsi bahwa semua tuduhan Bu Tedjo itu benar: Dian bukanlah perempuan baik-baik karena dia pacaran sama suami orang.

Tapi apakah benar?

Di sinilah stereotip itu bermain dengan perspektif kita.

Kenapa banyak yang menyangka Dian pacaran dengan suami orang? Karena kalau obrolannya enggak diperhatikan dengan seksama, kita nggak akan tahu bahwa Bu Lurah ini sudah bercerai.

Pun penyebutan “Bu Lurah” berturut-turut membuat kita sebagai penonton berasumsi bahwa dia adalah istri dari Lurah, bukan seorang perempuan yang berprofesi sebagai seorang Lurah.

Stereotip? Jelas, tapi ini bukanlah stereotip yang disematkan oleh yang membuat filmnya. Ini adalah stereotip yang hadir dengan sendirinya di kepala para penonton karena kita terbiasa melihat laki-laki di posisi pemimpin, bukan perempuan.
Begitu juga ketika kita melihat Dian, perempuan muda yang masuk ke dalam mobil untuk bertemu dengan pacarnya yang jelas jauh lebih tua. Karena dari awal kita sudah disodori stereotip ibu-ibu yang sudah ada di level karikatur ditambah perspektif kita yang goyah karena “kalah”-nya Yu Ning, kita berasumsi ke hal yang terburuk dan berpikir kalau karakter Dian ini hanyalah satu dari banyak stereotip di film ini.

Tapi apakah benar Dian berselingkuh dengan suami Bu Lurah (sekarang mantan)?
Ya nggak tahu. Kita nggak mendapatkan informasi tentang itu sama sekali. Kita hanya tahu kalau dia sekarang pacaran dengan si bapak yang statusnya duda. Kita tidak tahu mereka mulai pacaran dari kapan, kita tidak tahu apakah Bu Lurah tahu mantan suaminya mau nikah lagi, tidak tahu persis kenapa Fikri terimplifikasi menentang pernikahan itu.

Yang kita punya hanya secuil info mengenai Dian, asumsi, dan omongan Bu Tedjo.
Jadi kalau yang langsung beranggapan kalau ending itu menunjukkan bahwa Dian adalah seperti yang diomongkan Bu Tedjo, ya mungkin kalian simply kemakan omongan dan punya stereotip sendiri tanpa kalian sadari.

Gue masih mungkin salah, mungkin segala penempatan stereotip ini bukanlah disengaja untuk bermain dengan perspektif penonton. Mungkin gue ngasih terlalu banyak credit ke film ini. Tapi yang jelas film ini membuat gue berkaca mengenai cara gue memberikan penghakiman kepada sebuah informasi yang nggak jelas.

Dan mungkin kita semua juga perlu ngaca.

RustyrevolveR