Site Overlay

Hell Knight: Belial – Chapter 00

Jakarta, di suatu malam.

Gemuruh musik berkumandang di sisi selatan kota yang tidak pernah padam tersebut, dari panggung yang berdiri megah di lapangan parkir salah satu televisi swasta. Lampu warna-warni berkelip dan menyoroti wajah-wajah ceria pengisi acara yang tetap terlihat cerah dengan kelelahan terlindungi topeng kebal keringat bernama make up waterproof.

Seorang lelaki muda menatap keramaian itu dari ketinggian, dia menyandarkan diri di balkon apartemennya yang terletak di seberang stasiun televisi tersebut. Rambutnya yang menutupi sebagian lehernya berkibar dihembus angin, sesekali berkilat keunguan saat terkena kilasan-kilasan cahaya spot light yang ditembakkan ke angkasa. Asap tipis melayang tipis dari sela-sela bibirnya, membawa aroma nikotin yang langsung hilang di udara. Dia memicingkan matanya, menatap ke arah ribuan penonton yang memadati pelataran parkir itu, seolah mencari sesuatu.

“Udah berapa kali aku bilang, berhenti ngerokok! Nanti suara kakak hilang baru tahu rasa,” ujar seseorang dari belakang lelaki tersebut.

Lelaki itu menoleh, menatap sesosok gadis bertubuh kurus dengan potongan rambut pendek yang ditahan ke belakang dengan bando hitam. Mata gadis itu menatap langsung lawan bicaranya yang berusaha menghindar dengan menoleh ke kiri dan ke kanan.

“Nggak akan hilang juga suaranya sih, Fira…” ujar lelaki itu yang dipotong gerakan cepat gadis itu merebut sebatang rokok dari sela jemarinya dan melemparnya dari balkon.

“Nanti yang di bawah kesundut lho.”

“Ini lantai tigapuluh lima, sampai bawah juga udah mati. Nggak usah ngalihin omongan, kakak ngapain masih ngerokok? Mau bengek di panggung lagi kayak kemarin?” hadrik gadis yang bernama Fira itu.

“Galak ih.”

“Kalau nggak galak Kak Dio mana mau nurut?” jawab Fira sambil berpaling meninggalkan balkon itu. “Udah sini, tadi aku beli martabak di bawah. Bantuin aku ngerapi…”

Balkon di mana Dio tadi berdiri kini kosong. Fira bergegas menatap ke bawah hanya untuk melihat siluet hitam jatuh dan berkelebat menjauh.

-x-

Suara hiruk-pikuk musik bercampur teriakan para penonton terdengar sayup-sayup di kejauhan. Kelebat hitam yang jatuh dari ketinggian tadi melesat di antara bayang-bayang bangunan memasuki gang sempit menuju sisi belakang panggung. Bayangan itu terkoyak menjadi beberapa siluet kelelawar hitam yang terbang menjauh, meninggalkan sosok ramping Dio.

Dio merogoh kantung celana jinsnya, mengambil sebungkus rokok yang isinya segera diselipkan di antara bibir yang sedikit bergetar. Dari satu jentikan jari Dio, sepercik api menjilat ujung rokok itu dan menyulutnya.

“Mas, jangan di sini mas!” sebuah suara terdengar dari belakang Dio, seseorang dengan seragam putih-biru datang dengan langkah tergopoh-gopoh, wajahnya nampak kelelahan dengan lingkaran hitam melingkari matanya dan ludah mengering di ujung bibirnya, sisa tidur colongan di sela-sela shift kerja yang padat.

“Eh, mas Dio. Bukannya mas hari ini nggak ada show? Kok tumben?” ujar penjaga keamanan tersebut.

Lelaki tinggi itu terkekeh.

“Memangnya nggak boleh, Pak Aman? Saya mau nonton, tapi nggak mungkin kan kalau dari depan. Bisa habis saya dicubitin mbak-mbak genit,” seloroh Dio dengan suaranya yang berat.

“Ya nggak apa-apa juga sih mas…”
“Balik ke pos lagi aja pak, saya di belakang sini juga cuma mau ngerokok. Di dalam nggak boleh soalnya.”

Pak Aman mengangguk pelan dan berjalan kembali menuju pos jaganya. Begitu lelaki tambun itu menjauh, Dio berlari menuju deretan generator listrik. Dia melirik sekitarnya, suara generator berdengung monoton terdengar mengaburkan indera pendengaran. Dio berusaha berkonsentrasi mendengarkan langkah-langkah di kejauhan dan mendadak sebilah pisau melayang ke arah wajahnya.

Dengan gerakan cepat Dio menghindari serangan itu dan menatap ke arah asal pisau itu melayang. Sebuah garis merah terlihat membelah udara kosong, dari dalamnya terdengar suara berkeletak kencang tulang-tulang yang beradu dan belasan tengkorak manusia merangkak keluar.

Tengkorak-tengkorak itu memekik, berlari mendekati Dio dengan pisau dan pedang terhunus. Lelaki berambut panjang itu berlari melebarkan tangannya dan dua kali menjentikkan jemarinya. Api memercik dan melingkari kedua belah kepalan tangannya. Tengkorak pertama melompat, menebas ke arah kepala Dio namun pergelangan tangannya berhasil ditangkap dan detik berikutnya dia sudah terhempas keras di aspal dengan tinju berlapis api meremukkan rusuknya.

Satu persatu tengkorak hidup itu menyerang dan Dio hanya menghindar dengan gerakan-gerakan memutar kecil sambil mengibaskan tangannya, menari meninggalkan jejak api di udara. Pada ujung tariannya, Dio menyentakkan kedua tangan dan jejak api itu bergerak mencambuki udara, mementalkan para tengkorak yang lalu terpecah saat tubuh mereka menyentuh tanah.

“Ayolah,” ujar Dio. “Kamu tidak berpikir bahwa mereka cukup untuk melawanku kan?”

Suara tawa melengking bergema dari dalam retakan di udara tempat tengkorak-tengkorak tadi muncul, mengiringi sesosok makhluk melayang keluar.

Wajah makhluk itu kosong tanpa hidung maupun mata, hanya segaris senyum tanpa bibir melintang melintasinya. Bahunya kurus dengan tangan berjari panjang tajam seperti pisau sementara badannya terputus di pinggang.

Dia melayang menuju Dio, meninggalkan jejak tetesan darah dari ususnya yang terburai.

“Berubah,” desis Dio sambil menggerakkan tangannya membentuk lingkaran. Lidah api dari kepalannya bergerak mengikuti gerakan itu, membentuk pusaran membungkus tubuh Dio dan membakarnya.

Pusaran api itu berputar kencang dan sesosok tubuh melangkah tegap dari dalamnya. Wajah sosok itu ditutupi helm hitam dengan pelindung besi berbentuk menyerupai sayap kelelawar. Bagian mulutnya terbuka berbentuk seringai lebar dengan taring tajam membingkai bibir asli sang ksatria yang tersenyum hanya dengan satu sisi.

“Ksatria Neraka Belial siap mengantarmu kembali ke tepian Styx, suka atau tidak,” ucapnya sebelum melompat menerjang monster di hadapannya.

Suara keras terdengar saat cakar monster itu beradu dengan tinju Belial yang dibungkus sarung tangan besi. Dentangan itu terdengar sahut-menyahut selama beberapa kali diakhiri lengkingan keras saat ujung sepatu ksatria itu menghantam dagu monster yang langsung melayang mundur.

Tanpa menunggu lama, monster itu menangkupkan tangan di depan tubuhnya, mengarahkan cakar-cakar tajamnya ke dada Belial dan melayang cepat menyerangnya.

Jubah Belial berkibar saat dia berputar menghindari serangan bertubi-tubi. Monster itu mengeluarkan suara mendesis saat dia melayang tinggi dan mengambil ancang-acang sebelum melesatkan diri ke arah Belial sambil memutarkan badannya dalam gerakan seperti bor.

“Manticore!” teriak Belial sambil membuka telapak tangan kanannya. Lidah api keluar dari telapak itu, membentuk garis panjang dan berubah menjadi tombak bermata tiga di satu sisi dan bermata satu di sisi sebaliknya. Dengan lincah Belial menunduk menghindari serangan monster itu dan menggunakan pegangan tombaknya untuk memukul sisi tubuh lawannya tersebut.

Monster itu terpental menghantam salah satu generator listrik. Belial berdiri jumawa sambil mengarahkan sisi mata tiga dari tombaknya dan belari ke arah monster yang masih menggelepar itu. Wajah kosong monster itu menengadah ke arah Belial yang sedang berlari, garis tipis tanpa bibir di wajahnya membuka, mengeluarkan jeritan yang seketika tercekat mata tombak yang menembus tenggorokannya dan muncul di pangkal lehernya.

-x-

Tombak dengan mayat monster menggantung di ujungnya itu ditancapkan Belial ke aspal seperti bendera kemenangan. Darah mengalir dari luka menganga di leher dan menetes-netes dari ujung jarinya. Belial merogoh kantung di sisi dalam jaket panjang yang menutupi zirahnya dan mengambil sebatang rokok dari sana. Dia menyelipkan rokok itu di bibirnya dan kembali menyulutnya dengan jentikan jari.

Di bawah sinar bulan, asap dari sela-sela bibir ksatria neraka itu melayang bersatu dengan serpihan mayat monster itu yang perlahan hancur dan terbang ke udara.

RustyrevolveR