Site Overlay

Hell Knight: Belial – Chapter 03

“Kak Dio?” Fira bertanya sambil berusaha berdiri menggunakan tongkat bisbol untuk menopang tubuhnya. Kakinya masih bergetar, namun dengan diiringi satu tarikan nafas dia bisa berdiri tegak di belakang ksatria berzirah hitam itu.

“Fira, mundur. Ini jauh lebih berbahaya dari tengkorak-tengkorak itu,” ujar Dio.
Gadis itu menurut. Dia melangkah mundur dan merapatkan punggungnya ke salah satu tiang jalan layang sambil tetap menggenggam erat stik bisbolnya.

Incredibilus…” ujar lelaki berambut pirang itu. “Miles Infernus; aku tidak menyangka kamu menjadi salah satu dari mereka,” lanjutnya sambil terkekeh.
“Sebutkan namamu,” desis Dio.

Dux Obcasus, Appolyon. Penuai jiwa manusia, penabur benih neraka,” jawabnya sambil tersenyum.
“Ksatria Neraka, Belial,” jawab Dio sambil memasang kuda-kuda.
“Ah… kamu masih sangat hijau. kelahiranmu belum lagi satu jam dan kamu sudah ingin memulai pertarungan melawanku?” Appolyon berkata sambil tersenyum.

“Ya.”

Dio berlari menerjang Appolyon dengan kedua kepalan tangan menyala berapi di hadapan wajahnya. Dia melompat dan detik berikutnya suara besi beradu terdengar membahana di jalanan kosong itu. Kedua petarung itu terpental mundur dengan lengan bergetar dan telinga berdenging namun sepasang wajah itu masih saling menatap dengan waspada. Appolyon melompat dengan kedua pedangnya terangkat di atas kepala, bersiap menebas ksatria berzirah hitam di bawahnya. Lelaki pirang itu mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga, namun Dio berguling menyamping menghindar sehingga pedang itu hanya menghajar udara kosong berlanjut Dio melompat dan memukul pinggang Appolyon sekeras yang dia bisa dengan kepalannya yang berapi.

Appolyon menggeram, matanya menatap tajam ke arah Dio sambil menahan sakit di sisi tubuhnya.
“Hijau ya?” ujar Dio sambil terkekeh.

Diiringi teriakan keras mereka berdua kembali beradu. Dentangan keras bersahut-sahutan ketika sepasang pedang dan tinju besi berlapis api bergesekan liar di bawah sinar bulan diakhiri lompatan mundur dari keduanya untuk menjaga jarak. Meski nafas mereka terengah namun kuda-kuda Dio masih kokoh dan pedang Appolyon terbidik ke arah lawannya.

“Sudahlah,” ujar Appolyon sambil menyarungkan pedangnya. “Anggap saja sudah untuk malam ini.”
Dio menatap lelaki pirang itu dengan curiga, dia menurunkan kepalannya sedikit.

“Aku serius. Kamu muncul secara mendadak dengan kekuatan penuh semntara aku sudah lelah begini. Ada baiknya aku pulang, kamu pulang dan kita sudahi malam ini,” lanjutnya sambil merentangkan tangannya dan berjalan ke arah Dio.

“Jadi bagaimana? Kita sama-sama mundur?”

Seketika saat Dio menurunkan kepalannya, Appolyon mengayunkan kedua tangannya dalam gerakan menyilang. Sepasang pisau melayang keluar dari lengan baju dan digengam erat olehnya, terhunus mengarah ke mulut Dio yang tidak tertutup helm. Dio berjongkok menghindari tebasan itu dan melompat mendorong tinjunya menghantam dagu Appolyon.

“Ayolah, Opa. Trik seperti itu sudah terlalu tua,” seloroh Dio sambil melangkah mendekati Appolyon yang terkapar di atas aspal. Dia lalu berjongkok dan terkekeh sambil mengelus pipi lelaki pirang itu dan mencengkeram bagian bawah wajahnya dengan telapak tangannya yang menyala berapi. Appolyon menjerit sambil mencoba menarik lepas wajahnya, namun cengkeraman Dio terlalu kuat. Suara Appolyon tenggelam tertahan telapak tangan yang menutupi mulutnya, asap tipis membawa aroma daging terbakar ke udara dan seringai di wajah Dio melebar memperlihatkan taring-taring yang tumbuh perlahan.

“Kak Dio, UDAH!”

Seringai di wajah Dio menghilang.

“Kakak udah janji…”

Dio menoleh, dia beradu pandang dengan Fira. Suara gadis itu sedikit bergetar, namun tubuhnya tidak lagi gemetar. Dia berdiri tegak dengan tatapan lurus ke arah lelaki berzirah hitam di hadapannya.

“Kakak udah janji jaga emosi, kan?”

Dio melepaskan genggamannya dari wajah Appolyon.

“Udah cukup ya, kak? Kita pulang aja ya…”

Dio melangkahkan kakinya meninggalkan lelaki pirang yang masih mengerang kesakitan itu. Zirah hitamnya perlahan menguap menjadi asap hitam yang melayang menjauh, menyisakan tubuh yang kini hanya terbalut kaus putih dan celana jins. Nafasnya memburu, langkahnya semakin cepat berlari mendekati Fira.

“Maafin kakak, Fir,” ujar Dio sambil memeluk adiknya yang mulai sesenggukan di dadanya. Kelentang pelang terdengar saat stik bisbol yang digenggam Fira jatuh. ”Kamu takut ya? Maafin kakak.”

“Iya, nggak apa-apa kok,” ujar Fira sambil sedikit mendorong dirinya lepas dari pelukan Dio. Fira melebarkan matanya dan menatap wajah Dio, menunjukkan bahwa tidak ada air mata di sana.

Kedua orang ini menengok waspada saat mendengar suara keras, seperti cemeti yang diletarkan. Sumber suara itu adalah sebuah retakan merah di atas aspal yang menutup perlahan, menyisakan kekosongan seolah tidak ada apa-apa di sana. Angin berhembus, dan Dio mendengar bisikan lirih di telinganya.

“Omnia cum pretio, Dio…”

…つづく

RustyrevolveR