Site Overlay

“Cewek Banget”

Apa yang membuat gue sedih selama beberapa minggu belakangan ini adalah bagaimana gue tersadar betapa keras macho culture tertanam di pikiran kita tanpa kita sadari. Bahwa kita melihat laki-laki kemayu, laki-laki dandan, atau apapun yang “banci” sebagai “salah” karena mereka terlihat ingin menjadi perempuan; gender yang ditindas.
 
Mungkin terdengar terlalu kejam kalau gue ngomong seperti itu, tapi coba kita pikirkan; ketika perempuan mengenakan celana mereka dianggap sebagai pihak yang “empowered”, lebih dominan dibanding perempuan yang masih mengenakan rok. Sebaliknya, tidak usahlah kita bicara mengenai pria yang mengenakan rok, v-neck yang terlalu turun pun sudah dikomentarin: “melambai banget jadi laki”.
 
Melambai itu konon salah karena itu tidak manly, tidak “kuat”, tidak “dominan”, dan…
 
“Cewek banget.”
 
Omongan “cewek banget” dengan nada mengejek ini bukan sesuatu yang hanya dikatakan laki-laki ke laki-laki lainnya, tapi juga sangat sering diucapkan oleh perempuan, tanpa sadar bahwa mereka sedang merendahkan diri sendiri di saat bersamaan.
 
Dan ini baru ngomongin baju, belum ngomongin stereotip lain semacam bergosip, lama mandi, apalah-apalah.
Karena laki-laki selalu dianggap sebagai simbol kekuatan dan dominasi; maka perempuan adalah sosok yang dianggap sebagai simbol submisi, pasif, mereka yang harus ditindas dan diatur.
 
Pemikiran ini sudah terpatri kuat di pikiran kita sejak kecil sampai sekarang sehingga kita menerima saja fakta tersebut tanpa bertanya banyak.
 
Dan memandang aneh ketika seorang laki-laki memutuskan tinggal dan bekerja di rumah untuk lebih banyak menjaga anak karena istrinya memiliki pekerjaan yang lebih padat.
 
Dan memandang aneh ketika seorang perempuan memutuskan untuk fokus bekerja dan tidak berkeluarga.
 
Dan menerima begitu saja saat seorang istri berhenti dari pekerjaan dengan posisi tinggi untuk “ikut suami”.
 
Beranggapan bahwa suami harus berpenghasilan lebih tinggi dari istri, yang mengakibatkan konflik yang sebenarnya tidak perlu di rumah tangga.
 
Pola pikir inilah juga yang membuat perang gender nggak penting dan berujung anggapan bahwa feminisme itu adalah semacam balapan siapa yang lebih dominan; bahkan di kalangan beberapa feminis yang gue kenal.
 
And it’s sad, really. Karena ini sebetulnya bukan perkara dominasi-submisi, tapi perkara bahwa semua orang, apapun jenis kelaminnya, memiliki kesempatan yang sama di masyarakat untuk menjadi dan melakukan hal yang mereka inginkan. Terlalu banyak perempuan yang kehilangan kesempatan karena stigma berdasarkan kelamin dan terlalu banyak laki-laki yang depresi karena ego yang sebetulnya tidak berharga apa-apa.
 
All in the name of “kamu perempuan” dan “kamu laki-laki”.
 
Ini semua sudah terlalu melebar. Mari kita kembalikan ke awalnya yang sederhana dengan berhenti mengatakan “lo cewek banget deh” sebagai ejekan kepada laki-laki.
 
Karena jadi perempuan itu bukan sesuatu yang salah, ataupun terhina.
 
Selamat Hari Perempuan Internasional.
RustyrevolveR