Site Overlay

Bima Satria Garuda (so far) [SPOILER WARNING]

(“So far” ini maksudnya “sejauh ini” ya, bukan “muke lu jauh”)

Jadi, Bima Satria Garuda sudah mencapai episode ketiga, dan sejauh ini belum memenuhi ekspektasi gue atas sebuah serial tokusatsu yang “keren”. Ada beberapa hal yang bisa gue maklumin, ada beberapa hal yang menurut gue harusnya bisa lebih baik lagi. Here goes.

Ray adalah karakter yang sejauh ini tidak terasa nyata, lepas dari berbagai usaha menjadikannya karakter tiga dimensi. Dia memiliki latar belakang yang kuat untuk melawan Vudo, namun dia juga memiliki alasan untuk tidak bertarung sebagai Bima, kalau dia mau. Tujuan dari semua konflik ini adalah untuk membuat kita mengerti dan bersimpati terhadap masalah dan beban yang dimilikinya. Sayangnya, presensi Ray sebagai karakter utama di seri ini sama sekali belum terasa, bahkan terasa dangkal kalau dibandingkan potensi yang dimilikinya sebagai karakter utama.

Sebagian mungkin karena Chris belum bisa menjadi aktor yang cukup baik untuk menjadi karakter utama, line-linenya masih terasa dihafal dan dibaca, bukan diucapkan. Keberadaan dia di sana masih terasa sebagai “aktor pemeran Bima” alih-alih “Ray Bramasakti”. Dan ketika dia sendiri masih terasa canggung sebagai Ray, bagaimana mungkin para penonton bisa mememberikan simpati mereka kepada si karakter itu? Sebetulnya karakter-karakter lain pun aktingnya cenderung yagitudeh (selain Stella), tapi memang Chris yang paling banyak kena karena dia adalah karakter utama dan potensi karakternya pun lebih dari sekedar “jagoan” doang.

Sebagian lagi karena alur cerita yang terlalu tergesa-gesa memasukkan banyak konflik dan memperkenalkan banyak karakter dalam satu episode (yang cuma setengah jam) sehingga para audiens tidak memiliki cukup waktu untuk memahami relasi antar karakter dan membentuk opini pada karakter tertentu.

Ray, secara spesifik.

Jujur, gue nggak ngerasa kita perlu tahu siapa dan apa latar belakang Vudo di episode pertama. Kita cuma perlu tahu bahwa “bumi diserang”. Adegan pengenalan eksperimen ayah Ray dan narasi mengenai Vudo di sana itu lebih banyak memakan waktu dan tidak memberikan impact apa-apa, justru akan jauh lebih baik ditaruh di episode-episode nanti untuk memberikan sedikit misteri yang membuat audiens penasaran, bukan melempar semua itu in-your-face. Waktu yang digunakan di sini justru lebih baik dipakai untuk menggambarkan relasi antara Rena-Randy-Ray, hubungan mereka, apa yang membuat mereka peduli satu sama lain, dan seterusnya.

Ya, gue hadir di presscon dan tahu mengenai hubungan darah mereka, tapi audiens menonton apa yang ada di televisi, bukan membaca press release. Andaikan gue nggak hadir di sana, gue pasti akan bertanya-tanya mengenai siapa siapanya siapa.

Karena penggalian relasi yang kurang ini maka gue tidak merasakan emosi dari Ray saat dia harus menyelamatkan Randy di episode kedua. Bahkan alasan mengapa Randy diculik pun gue nggak tahu sama sekali, it happened just because, as a plot device for the first showdown Bima versus Topeng Besi.

Terburu-burunya cerita ini pun juga terasa di episode ketiga, dengan mulai adanya monster Lizardion yang menculik orang dan membuat onar tanpa motif jelas, dan menelan orang dengan motif yang masih tidak jelas. Kita bisa bandingkan dengan seri-seri monster-mingguan lainnya (dari Kamen Rider sampai Power Rangers) bahwa setiap monster yang diturunkan memiliki tujuan yang jelas, sehingga modus yang dijalankan terlihat masuk akal.

Mungkin memang banyak elemen cerita yang masih belum diperlihatkan, masih ada 23 episode lagi, dan tidak fair untuk menghakimi secepat ini. Namun kalau 3 episode awal gagal menarik penonton untuk penasaran dan ingin tahu lebih lanjut kan repot juga, sayang ceritanya.

Selain masalah ini, kualitas audio pun sangat mengganggu gue. Gema yang terlalu banyak di Mikhail, suara menggerung yang overdone di siapapun yang berhubungan dengan Vudo, dan suara Bima yang dubbingannya nggak nyatu dengan suara sekitar. Gue masih bisa memaklumi kalau kualitas CGnya tidak sebagus seri luar karena permasalahan teknologi dan budget, tapi kualitas audio bukanlah sesuatu yang harusnya tertahan karena itu.

Masih banyak sebetulnya yang pengen gue sampaikan, cuma takut malah jadi ngalor-ngidul jadilah segini dulu.

Gue tahu persis apa yang mau dicapai, dan gue rasa anak-anak kecil yang merupakan target utama serial ini seneng-seneng aja nontonnya, tapi penggarapan cerita yang setengah matang ini membuat gue cukup kecewa karena tingkat keseriusan Jepang dalam menggarap hiburan yang “cuma buat anak-anak” adalah satu hal yang menjadi alasan gue suka dengan industri hiburan negara ini, tokusatsu pada khususnya. Sayang aja senjata utama yang menarik target market yang lebih luas dari anak-anak ke seri Bima Satria Garuda ini justru cenderung tumpul.

Lepas dari semua rant di atas, mungkin lo akan berpikir bahwa gue tidak suka dengan seri ini. On the contrary, gue senang menontonnya. Menurut gue, koreografi action scene dan kostumnya sangat bagus dan sangat menghibur untuk ditonton, begitu pun dengan camera worknya di momen-momen seperti ini. Tapi ada masalah yang memang perlu di-address untuk memperbaiki apa yang sekarang kita dapatkan setiap minggu. Gue sangat ingin seri ini berhasil, dan gue harap siapapun di tim produksi Bima tidak menganggap ini sebagai letter of hate.

Me and that little boy in me have hope, and we still do.

(Originally posted on 

RustyrevolveR