Site Overlay

Baju Batik, Distro, dan “Indonesia Banget”

Jadi kemaren ada buzzer pendukung Prabowo yang nyindir soal baju kotak-kotak Jokowi yang kayak dibeli di distro. Nggak usah sebut nama lah, most of us know who he is and he’s not significant anyway. Yang menjadi sorotan gue adalah istilah “baju distro” yang seolah-olah tidak ada keren-kerennya, padahal menurut gue baju distro adalah sesuatu yang memiliki nilai ke-Indonesia-an tersendiri.

Mari kesampingkan pilpres dan segala embel-embel yang menyertainya. Mari fokus sama baju distro saja.

“Indonesia banget” adalah label yang sering kita kenakan kepada sesuatu dengan nilai-nilai budaya tradisional tinggi. Misalnya wayang, batik, dan… ya biasanya wayang dan batik aja karena banyak dari kita yang tahu Indonesia hanya segitu aja.

Padahal ada sesuatu yang menurut gue lebih menarik dari sekedar penampilan, sesuatu yang lebih dari sekedar “kulit”. Iya, batik dan wayang itu hanyalah kulit dengan nilai-nilai yang baru bisa kita rasakan saat kita telaah lebih dalam. Indonesia kuno (yang technically speaking belum “Indonesia”) adalah area dagang, berada di antara dua laut dan dua benua, dan kita ulang pelajaran IPS jaman SD yadda-yadda. Anyway, gue cuma pengen bilang bahwa batik adalah fashion di jamannya dulu, dengan desain yang mengadaptasi berbagai budayayang datang dan pergi di kepulauan ini; mulai dari India, Hindu-Buddha, Persia, dan seterusnya. Ada akulturasi budaya di dalam batik, dan itulah yang menurut gue menjadi esensi “Indonesia”.

Pada akhirnya sekarang batik sudah menjadi simbol semata. Nilai sejarah dan budayanya sudah mulai dilupakan dan direduksi menjadi hanya “motif batik”. Lepas dari banyaknya usaha untuk melestarikan ini dan usaha untuk meneruskan pengetahuan mengenai batik, pertanyaannya adalah: apakah batik adalah “Indonesia”?

Gue nggak setuju. Batik adalah bagian dari Indonesia, namun bukanlah Indonesia secara keseluruhan. Nilai-nilai yang terkandung di dalam batik itulahyang mendefinisikan Indonesia. Bukan kulitnya, namun isinya. Maka ketika sekarang batik abal-abal impor dipromosikan sebagai “produk nasionalis” ya gue tinggal menghela nafas aja.

Lalu apa hubungannya dengan baju distro?

Seiring gue makin… tua (meskipun belum 30, but hey), gue selalu senang melihat entrepreneurship. Dan distro ini adalah bentuk entrepreneurship paling mudah dan umum untuk anak-anak muda yang ingin memulai bisnis untuk nambah duit dan/atau sekedar mau melepas diri dari bayang-bayang orangtua. Ini adalah ruang kreatif yang pada awalnya diremehkan dan akhirnya menjadi sebuah industri tersendiri.

Dan industri ini adalah salah satu industri yang benar-benar “lokal”. Beberapa distro memang menjual produk luar, namun mereka juga memiliki produk sendiri yang didesain sendiri, diproduksi sendiri, dijual sendiri, memberikan lapangan pekerjaan untuk masyarakat lokal.

Dengan logika ini, industri ini menurut gue malah lebih “nasionalis” dibandingkan dengan mengibarkan batik secara asal tempel. Membeli barang distro berkualitas itu secara tidak langsung menyumbang kepada produsen lokal untuk menghasilkan produk lokal yang bagus secara berkesinambungan.

Maka dari itu, cobalah sedikit lebih mencintai barang distro. Dan cobalah sedikit lebih berpikir sebelum measangkan label “Indonesia banget” ke sesuatu.

Udah gitu aja sih, hehe.

– M

RustyrevolveR